Jumat, 15 April 2011

Malam Keramat di Malioboro, Yogyakarta




Ternyata tidak gampang menjadi seorang tukang becak.
Apalagi kalau penumpangnya patung raksasa ini.
Rasa hormatku untuk para tukang becak,
terutama yang mangkal di sepanjang Malioboro hingga keraton.
Yogya juga patut disebut kota kreatif.

Sekolah Sampah


          "Bu, saya tadi makan bakso lho!" ucap seorang anak. Wahyu Katri Ambar Wulan Sari, pendiri sekolah di komunitas sampah Bantar Gebang itu tersenyum. Alangkah enaknya makan bakso hangat di pagi hari, pikirnya. Sari –demikian panggilan akrabnya- terperanjat tatkala anak itu melanjutkan kegirangannya, "Aku dapat bakso di Bulog."
          "Bulog" adalah sebutan para pemulung untuk gunungan sampah raksasa di Bantar Gebang. Artinya, anak murid yang dikasihinya telah makan bakso yang entah berapa hari mengendap di tumpukan sampah.
          "Mengajar disini banyak kejutannya, "ujar alumnus Universitas Brawijaya, Malang itu. Murid-murid lugunya dengan polos bercerita mendapat tangan, kaki, atau bagian tubuh manusia lainnya saat memulung.
          Kenapa tak dilaporkan ke pihak berwajib? Wanita kelahiran Madiun, 25 Maret 1970 ini berujar, "Kejadian itu terlalu sering, mereka sudah anggap biasa menemukan potongan tubuh korban mutilasi."
Jalan Terjal
          Sebetulnya sang suami, Karyanto Wibowo telah menyediakan rumah cukup nyaman buat Sari di Kemang, Bekasi. Anehnya, ibu dari Pradhipto Bagas Wicaksono dan Azriel Yoga Prakosa itu malah berkeliaran di TPA (tempat pembuangan akhir) Bantar Gebang. Awal 2007, Sari mulai mendatangi satu per satu bedeng pemulung menawarkan pendidikan.
          "Pertama kali datang, aku melalui jalan becek, licin, lumpur hitam dengan aksesoris belatung-belatung kecil. Honestly, perutku spontan mual dengan semua pemandangan itu. Tapi kutahan karena bila ingin melebur dalam dunia pemulung, aku harus seolah-olah terbiasa," ungkapnya.
          Apa yang diperolehnya dari aroma super busuk dari gunung-gunung sampah? Sari malah dicurigai, dimaki dan diusir. Dasar keras kepala, ia tak mau menyerah. Sari terus mendatangi bedeng pemulung membujuk anak-anak belajar, merayu ibu-ibu dan kaum bapaknya mengikuti pengajian.
            Dengan menyisihkan keuangan belanja keluarganya, Sari meminjam sebuah mushala tempat menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) gratis. Letak mushala kecil itu amat strategis karena berada di tengah bedeng para pemulung, sehingga bisa juga didirikan Taman Pengajian Al-Quran (TPQ).
          Namun letaknya yang berdekatan dari gunungan sampah, membuat bau sangat busuk sampai ke tempat belajar. Kondisi kian berat di musim hujan, karena aliran air memboyong sampah, lumpur dan belatung memasuki mushala.
          Berulangkali guru bantu direkrut, selalu saja mereka kabur tak kuat bau sampah, belatung dan lalat hijau. Sari mengatasi masalah ini dengan merekrut guru dari warga setempat yang akrab dengan aroma sampah.
          Baru 2 bulan PAUD dan TPQ berjalan, sudah 4 nyawa anak didiknya melayang. Seorang anak terserang tetanus, satu lagi pecah empedu dan dua sisanya mengalami luka serius akibat terpeleset berebut sampah. Selanjutnya mata Sari makin sering berkaca-kaca karena silih berganti murid-muridnya mati di ganasnya sampah Bantar Gebang.
          Setahun kemudian, PAUD pindah ke rumah sewa yang saat hujan masih saja bocor. Untungnya tempat itu cukup lapang menampung 60 anak di kelompok belajar bernama Al-Falah tersebut.
          Karena murid terus bertambah, Sari kembali memindahkan tempat belajar ke sekolah sekolah baru. Meskipun berdiri di atas tanah sewa dan berdinding bambu, setidaknya mereka tak berjejalan lagi di mushala.
          Hanya saja, lagi-lagi jika hujan turun, celah-celah kecil di atap seng akan meneteskan air hingga ruang kelas banjir dan kerja bakti mutlak dilakukan sebelum belajar. Keadaan seperti itu bertahan sampai sekarang, tapi tak membuat kendor semangat
150 murid dan 10 orang guru.
          Atas berkat rahmat Allah dan kegigihan yang menakjubkan, tahun ajaran 2008–2009 Sari berhasil membuka sekolah kesetaraan untuk menampung anak-anak putus sekolah maupun alumni PAUD. Mereka belajar di level Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMU).
          Sehingga alumni PAUD bisa mendapatkan ijazah resmi dari Departemen Pendidikan Nasional, dan tahun 2009 sekitar 12 siswa-siswi kejar paket A–C mengikuti Ujian Nasional resmi.
Airmata Guru
          Secara rutin Sari berkeliling gunungan sampah melakukan razia mencari murid yang bolos. Rupanya mereka asyik mengais-ngais sampah dengan tangan berlumuran lumpur dan belatung, serta peluh membasahi wajah.
          Sari susah payah membujuk mereka kembali bersekolah. Ia pun berusaha anak-anak sesering mungkin ada di sekolah, supaya terhindar dari kewajiban mengais sampah.
          Airmatanya jatuh melihat beberapa murid memamerkan kaki-kaki yang korengan, dirubung lalat karena luka tak terawat. Sari makin khawatir saat murid melaporkan kakinya bolong tertusuk jarum suntik bekas atau limbah medis.
          "Aku tak berani membayangkan jika jarum itu bekas pemakai narkoba atau orang-orang yang tercemar HIV," ucapnya getir.
          Di wilayah TPA Bantar Gebang yang penuh carut marut premanisme, Sari sungguh jengah karena tak henti-hentinya diperas dan difitnah yang berakar dari keserakahan manusia yang ingin selalu diberi. Entah berapa kali Sari didemo, diusir dan sekolahnya akan dibongkar gara-gara tak mau membagi jatah rupiah.
          Mereka pikir Sari pastilah kaya raya, sebab hanya orang berkelebihan harta yang mau berbagi untuk orang miskin. Padahal ia menyisihkan keuangan keluarga dari gaji suami yang karyawan swasta, serta bantuan tak tetap dari para sahabat yang bersimpati.
          Keyakinan pada Allah membuatnya tak pernah ciut dengan preman kampung atau preman berseragam. Sari pun merasa nyaman dikawal puteranya Bagas yang menjalani home schooling kelas 1 SMP, hingga bisa menyertai perjuangan bundanya.
Gelombang Dakwah
          Bukan hanya mendirikan sekolah, Sari juga membentengi akidah umat. Sari terperanjat memperoleh informasi di gunungan sampah juga terjadi pendangkalan akidah dengan pemanis bantuan sembako. Sari segera mendirikan TPQ di wilayah itu dan merayu ibu-ibu mengikuti pengajian.
          Berbagai halangan seperti mushala yang roboh atau nyaris hangus dilalap api serta ustad ustadzah yang kapok berceramah disana, tak membuatnya surut. "Alhamdulillah secara perlahan para ibu dan anak tidak tergiur lagi dengan iming-iming sembako. Mereka sudah rutin mengaji dan mengikuti majlis taklim," ungkapnya ceria.
          Atas perjuangannya, Sari mendapat penghargaan Gubernur Jawa Barat sebagai Tokoh Wanita Inspiratif Penggerak Pembangunan dalam rangka Hari Ibu ke 81 tahun 2009.
          Kini Sari telah mempersiapkan masa depan sekolah sampahnya. Dia mengirim sejumlah anak pemulung belajar di pesantren yang diharapkan menjadi kader masa depan. Ia pun mendirikan Yayasan Ummi Amanah guna memayungi sekolahnya dengan melibatkan banyak orang yang punya kepedulian. "Kalau saya mati, kelak ada yang meneruskan sekolah ini," harapnya bergetar.
          Kita pantas tersindir dengan perjuangan Sari, saat orang bertarung mencari hidup dia telah menemukan makna kehidupan. Ketika kita saling sikut sesama teman demi ego pribadi memperebutkan materi, Sari menemukan mutiara hidup dengan berjuang menegakkan kebenaran, melaksanakan tugas yang mestinya diemban negara. Maju terus Bu Guru! (Tulisan ini sudah pernah diterbitkan oleh majalah PARAS)
NB:
  1. Sepulang dari sekolah sampah, saya langsung minum vitamin C dosis tinggi demi mencegah sakit. Setibanya di rumah, seluruh pakaian yang saya pakai langsung direndam dan dicuci. Walaupun tidak jatuh sakit, sepulang dari sana saya pusing kepala dan agak demam. Pokoknya badan terasa tak enak! Subhanallah, mereka tiap hari di tumpukan sampah kok bisa kebal begitu?
  2. Kabar dari sahabat mengatakan Ibu Sari sempat mengalami sakit paru-paru. Mungkin disebabkan milyaran virus yang beredar di sekolahnya. Semoga Allah memberinya kesembuhan dan kesehatan untuk terus berjuang. 

Minggu, 10 April 2011

Playboy Batavia



        Pernahkah kita membayangkan seorang kaya buang hajat di sungai, lalu cebok (membersihkan duburnya) dengan beberapa lembar uang Rp 100.000,-? Lantas di bawah aliran sungai belasan orang berkelahi hingga terluka gara-gara memperebutkan lembaran uang bekas tinja manusia itu.

            Eits, jangan mencap cerita itu mengada-ada saja! Soalnya kejadian seperti itu memang pernah ada dan nyata. Kejadian ratusan tahun lalu ini bisa menjadi pelajaran bagi kita dalam memahami hakikat kebahagiaan.

            Tatkala memasuki kawasan Glodok setelah melewati Pancoran terdapat Jalan Toko Tiga. Pada paruh pertama abad ke-19, kira-kira tahun  1830, di kawasan Toko Tiga terdapat sebuah toko tembakau terbesar di Batavia (Jakarta sekarang). Pemiliknya seorang juragan bernama Oey Thay, yang berasal dari Pekalongan. Bisnis tembakaunya benar-benar maju pesat, apalagi sebagian besar penghuni Batavia doyan makan sirih, begitu pula di wilayah lain. Kerajaan bisnis bukan saja membuatnya kaya raya, tapi juga mengangkat gengsinya di masyarakat.

            Oey Thay meninggal dunia pada usia 50 tahun dengan meninggalkan empat orang anak dan harta warisan sangat banyak. Warisannya meliputi hamparan tanah amat luas di Pasar Baru, Curug, Tangerang dengan sewa 95 ribu gulden setahun. Padahal di zaman itu orang cukup uang 10 gulden guna hidup hidup sederhana dalam sehari. Warisan lainnya beberapa rumah, tumpukan uang, dan perhiasan. Total kekayaannya ditaksir mencapai dua juta gulden. Lagi-lagi di waktu itu, hanya segelintir orang memiliki kekayaan sebesar itu.

            Warisan yang dipercaya tak akan habis tujuh turunan tersebut jatuh bak durian runtuh pada anak-anaknya. Sayang, juragan tembakau itu tidak mewariskan kearifan hidup pada anak-anaknya. Akibatnya anak-anak itu hidup lupa diri.

            Salah seorang putranya yang paling terkenal adalah Oey Tambahsia. Selain tampang yang memang rupawan, Oey seorang yang gemar berfoya-foya, dan mengejar para gadis. Hobinya jalan-jalan berkuda keliling kota Batavia. Biar terlihat keren, anak muda itu memakai baju mewah dan dikelilingi para pengawal jagoan. Bahkan kudanya yang juga gagah sengaja diimpor dari Australia,

            Oey muda punya matanya yang jelalatan mencari gadis-gadis jelita. Tidak semua orangtua terpukau oleh harta benda. Buktinya, banyak juga ayah ibu yang buru-buru menyembunyikan anak gadisnya di rumah. Bahkan rumahnya itu pun ditutup supaya anak gadisnya tak kelihatan oleh playboy tersebut.
            Warisan harta yang banyak membuatnya kebingungan. Oey Tambahsia juga melakukan hal-hal yang teramat aneh. Dia menghambur-hamburkan uang jerih payah almarhum ayahnya dengan cara yang gila. Di Jalan Toko Tiga, terdapat sebuah sungai yang saat itu airnya masih jernih. Tiap pagi, tiap kali Oey Tambahsia buang air besar di sungai tersebut, belasan orang sudah menunggunya. Jangan berpikir mereka datang pagi-pagi hanya untuk mengintip laki-laki buang hajat. Oey Tambahsia cebok menggunakan uang kertas untuk membersihkan sisa kotoran di duburnya. Uang-uang kertas itu lalu dibuangnya di sungai. Itulah saat-saat yang menggembirakan bagi sekelompok manusia yang sudah berkumpul di aliran sungai itu. Uang-uang kertas itu mereka rebutkan bahkan dengan kekerasan. Tak jarang ada yang sampai terluka akibat berkelahi. Oey Tambahsia senang alang kepalang dengan perangai anehnya itu.
            Perjalanan sang playboy sampai ke wilayah Senen. Kebetulan ia melihat seorang gadis molek dari keluarga Sim muncul dari balik pintu rumah. Kejadian itu disebut kebetulan karena gadis-gadis Tionghoa di masa itu sama nasibnya dengan gadis pribumi yang dipingit dalam rumah. Para gadis keluar rumah hanya untuk keperluan penting dan itu pun harus ditemani orangtua dan kerabatnya.

            Singkat cerita, Oey Tambahsia berhasil mempersunting gadis cantik itu dengan bermodalkan ketampanan, harta benda dan kegombalannya. Maka digelarlah pesta pernikahan yang diyakini sebagai pernikahan terbesar yang tak ada tandingannya di Batavia. Kemeriahan pesta perkawinan itu disemarakkan oleh penampilan wayang Cina, tayuban, arak-arakan, dan kembang api.

            Pesta besar itu berlangsung beberapa hari. Akibatnya Mayor Cina Tan Eng Goang yang tinggal di jalan yang sama jadi geram. Dewan Cina pun merasa dilangkahi karena Oey mengadakan pesta dengan menutup akses jalan tanpa meminta izin. Oey Tambahsia tak peduli dengan perasaan dan kepentingan orang lain dan pesta besar telah menenggelamkan suara-suara protes.
            Rupanya pesta besar dengan biaya besar tidak menjamin kebahagiaan rumah tangga. Oey Tambahsia hanya beberapa minggu saja menikmati perkawinannya, setelah itu ia pun bosan dan istrinya ditelantarkan. Playboy itu kembali kepada habitat aslinya berfoya-foya dan main wanita nakal. Dia mempunyai vila Bintang Mas di Ancol yang digunakan sebagai tempat bermaksiat. Perjalanannya sampai ke Pekalongan hingga jatuh cinta pada seorang pesinden dan langsung membawanya ke Batavia.

            Sejak itu rumah tangganya berantakan dan Oey Tambahsia semakin lupa daratan. Dia meningkatkan kegilaannya dengan menjadi pembunuh berdarah dingin. Atas nama persaingan bisnis, ia membunuh seorang pesaingnya dengan cara keji. Sialnya, korban adalah seorang menantu Mayor Cina.

            Oey Tambahsia pun kena batunya. Dia dijatuhi mati dengan cara digantung. Ketika tali gantungan telah menjerat lehernya, algojo pun menendang dingklik (tempat pijakan kaki yang dipakai berdiri). Dan terjeratlah leher Oey, terkapar dan mati dalam usia 31 tahun. Harta benda, ketampanan dan keangkuhan telah mengakhiri hidupnya tanpa kebahagiaan.
1. Sebaik-baik warisan adalah ilmu yang bermanfaat dan akhlak terpuji. Itulah yang akan   menghasilkan kebahagiaan.

2. Bahagia bukan dengan memelihara banyak wanita simpanan, tapi membangun cinta yang tulus dari istri.

3. Kekayaan dan ketampanan tak mampu membeli kebahagiaan sejati

4. Keberhasilan mendapatkan wanita cantik belum jaminan memperoleh cintanya.

Sumber:
Alwi Shahab, Si Playboy Batavia, koran Republika, Minggu, 13 Juni 2004
Sam Setyautama dan Suma Miharja, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2008
Sumber foto: http://www.travelpod.com, salah satu sudut kota Batavia.

Jumat, 08 April 2011

Cerita Cinta Jalaluddin Rakhmat




Kamis, 07 April 2011, untuk kesekian kalinya saya ketemu Kang Jalal.
Hampir dua jam ngobrol, saat ia membukakan pintu, Kang Jalal sempat-sempatnya menyampaikan sebuah cerita cinta:
Seorang pria asyik mengelus-elus mobil barunya. Sudah sangat lama ia merindukan punya mobil keren. Dan setelah bersusah payah, akhirnya mobil impian jadi kenyataan di depan matanya.
Tiba-tiba terdengar suara-suara sesuatu yang menggores-gores dinding mobilnya. Ternyata pelaku itu adalah anaknya sendiri. Maka meledaklah amarah pria itu. Dan dengan keras, ia memukuli tangan anaknya. Jerit tangis anak membuatnya tersadar. Ia memukuli dengan menggunakan obeng besi.
Anak buru-buru dibawa ke rumah sakit. Karena lukanya cukup parah, jari-jari anaknya harus diamputasi. Saat tergolek lemas di ranjang putih, anaknya berkata, "Ayah, kapan jari-jariku tumbuh kembali?"
Maka berlinanglah airmata penyesalan dari pria itu. Lalu ia pulang ke rumah. Dengan menggunakan obeng besi, ia memukuli mobil barunya sejadi-jadinya.
Hatinya hancur tatkala terbaca tulisan yang digoreskan anaknya di dinding mobil. Anaknya merusak kemulusan dinding mobil untuk menuliskan:
I LOVE YOU DADDY!
Hikmah:
  1. Terkadang kita sering mencintai sesuatu yang tak perlu dicintai dan tidak pula akan mencintai kita, yaitu dunia.
  2. Kadang kita menyakiti orang-orang yang mencintai kita dengan tulus
    NB: Sebelum pulang, saya menyerahkan buku Stories of Love. Meski saya berusaha keras menghindar karena gak enak, Kang Jalal tetap saja ngotot minta tanda tangan saya di buku tersebut. "Tanda tangan saja, nanti saya simpan di perpustakaan pribadi," ujarnya. Yah, saya tandatangani juga meski agak malu he he... Soalnya Kang Jalal adalah guru besar saya dalam menulis. 
    Foto: Taufik Subarkah, dipotret 3 tahun lalu di Pondok Indah.

    Bahagiakah Wanita


    Bahagiakah Wanita?
    (Menjadi bunga atau Menjadi Bunga)

    Sekalipun tampil habis-habisan, wanita hanya kelihatan menggoda, tapi belum mempesona. Sebab, pribadi yang cemerlang tidak membutuhkan polesan untuk tampil percaya diri. Pesona dirinya terpancar dengan indah dari kepribadian dan keteguhan semangat hidup.(Yoli Hemdi)

     Berbicara tentang wanita, takkan ada habisnya. Ialah ibu kita. Mereka adik kakak kita. Saudara, bibi bahkan istri kita. Bahkan nabi sangat menghargai dan menhormati kaum ini. Banyak hadits berserakan, isinya tentang menghormati ibu, menyayangi keluarga (basis yang merupakan domain perempuan), hingga hadits tentang larangan berzina (dengan menganalogikan, bagaimana seandainya wanita yang kau lecehkan itu adalah adikmu sendiri?).
     Entah kenapa, dunia saat ini menjadi seolah bersahabat dengan wanita. Lihat saja, kebangkitan faham kesetaran gender, feminisme, hak menjadi pemimpin. Sesuatu yang rasanya hilang berabad lama. Tapi benarkah wanita bahagia dengan dunia realitas yang ada sekarang? Sebuah pengakuan seorang tokoh perempuan, “Wanita dahulu lebih bahagia daripada wanita saat ini”. Sebuah ironi.
    Dunia sekarang bukan saja menjebak wanita menjadi pribadi yang sophaholic (gila belanja). Bahkan yang bernama pariwara (publikasi produk) juga memposisikan wanita sebagai penggoda. Kita masih ingat dahulu, iklan ABG yang kehilangan muka karena ada burket (bubur ketek) di ketiaknya; sepeda motor yang hebat membuat dandanan ibu paro baya yang pulang dari salon berantakan; kemanjuran shampo tergambar pada gadis-gadis centil berambut kemilau yang menghayalkan cowok keren. Mulai dari iklan onderdil motor, pompa air hingga minyak rambut pria.
    Wanita di televisi memang sudah buram dibuatnya. Gilanya televisi di Indonesia bukan saja menjadi tontonan, tapi tuntunan. Maka tak heran, kita berkunjung ke daerah terpencil sekalipun, gadis kampung nan lugu pun berdandan gaya Bunga Citra Lestari, artis abg yang hobi pake tanktop dipadu jeans ketat. Karena paradigmanya adalah, wanita harus tampil cantik, menawan atau kalau bisa seksi, agar mendapat perhatian. Begitukah mereka menilai wanita? Atau wanita sendiri merasa nyaman dengan keadaan seperti itu? Perlambang kecantikan seorang wanita adalah bunga, tapi masalahnya kecantikan itu, sesuatu yang kasat mata atau terpancar dengan indah dari dalam jiwa. Atau keduanya? Menjadi Bunga atau menjadi bunga? I Don’t know. Ask the women please…
    Foto pendukung diambil dari: cdn.dailyclipart.net

    Buku Bagus

    Hari ini Allah Mengirimku Sebuah Buku (Baguss..)

    (dikutip dari http://asih-pelangikecilna.blog.friendster.com)

    4 November 21:55
                Berawal dari amanah Bapak yang tidak saya laksanakan ( yaitu mbelikan Sirah Nabawiyah yang saya ceritakan ke Bapak ) padahal saya sudah dikasih uang sama Bapak. Begitu Bapak tau, kalau uangnya saya pakai sementara untuk beli buku folio, tempat pensil, dan ntraktir teman.. Bapak komentar : waah, tidak melaksanakan amanah dengan baik.. Jleb!
                Saya pun langsung meluncur ke Eramedia Islam… Di sana langsung cari Sirah Nabawiyah karangan Syeikh Shafiyurrahman Al-Mubarakhfury… dan langsung penasaran juga sama buku ‘Ukhtiy… Hatimu di jendela Dunia’ karangan Yoli Hemdi. Dua-duanya sama-sama buku best seller…
                Tentang buku karangan Yoli Hemdi itu… saya merasa tersindir. Iya yah, apakah saya termasuk akhowat berjilbab lebar yang diceritakan di salah satu judulnya, akhowat berjilbab lebar yang gak bisa jaga sikapnya. Dan apakah saya termasuk masih ‘perawan’ hatinya?? Padahal yang disebut perawan hatinya oleh Sayyid Qutb adalah yang hatinya belum perah dijamah oleh lelaki manapun… Astaghfirullah… Semoga Allah mengampuni saya, yang menemukan cinta-Nya ketika saya telah terlalu jauh tersesat dari jalan-Nya… amin.
                Buku ini nggak hanya diperuntukkan untuk perempuan kok. Malahan, menurut saya, buku ini wajib dibaca laki – laki! Karena di dalemnya si pengarang berhasil mengungkap kenapa seorang isteri / ibu menangis ketika baru akad nikah, ketika melihat bayinya yang bari dilahirkannya, melihat anaknya jatuh sakit, tetapi kenapa mereka nggak menangis ketika suaminya pulang tidak membawa uang sepeser pun, ketika mereka masih juga tinggal di rumah butut, atau ketika 3 tahun menikah tapi sang suami belum sama sekali memberikan baju baru untuknya… kenapa hayo?? Kalau mnurut saya, jawabannya adalah : karena tangisan mereka adalah tangisan syukur, tangisan haru, tangisan kekuatan dan ketegaran, tangisan ketabahan dan kesabaran…
                I Love my Mom… Nggak hanya tentang airmata perempuan ajah, tapi juga tentang peran perempuan pas perang, dan yang pasti semua kisah di dalemnya adalah kisah nyata, baca sendiri aja deh bukunya…

    Minggu, 03 April 2011

    Amien Rais Berbagi Energi!




    Dahulu kala... (belum lama banget sih)

    sebuah Orde mencengkram Indonesia puluhan tahun.
    Suara-suara vokal dibungkam atau dihabisi.
    Orang-orang takut, sebagiannya malah menjilat Orde itu.
    Amien Rais.... Dia tampil dengan suara lantang.
    Dengan berani melawan kekuasaan rezim.
    Banyak orang menyebutnya nekad.
    Tapi ia tak peduli...
    walau nyawa terancam.
    Setelah reformasi sukses...
    Banyak orang yang berteriak berani..
    Dan suara Amien tenggelam
    Namun Tuhan akan mencatat amal setiap insan...
    sekecil apapun itu...
    jabat erat ini menjadi penting...
    agar kami berbagi energi keberanian
    ...untuk kebenaran.
    Amin!
    13 Juni 2008
    Namanya Yoli Hemdi, seorang penulis produktif dan wartawan sebuah majalah Islam terbitan Jakarta. Saya dengar namanya pertama kali saat saya masih jadi redaktur di Annida. Yoli memang penulis yang banyak menulis dan pantang menyerah.

    Lalu--saya lupa tahun berapa--setamat kuliah S2 di Padang, Yoli pindah ke Jakarta. Dia mencari kerja di Jakarta dan langsung diterima di majalah tempatnya bekerja sekarang. Sejak saat itu, saya dan Yoli sering telepon-teleponan. Tak terlalu sering, tapi lumayan rutin. Yoli udah sering bilang ingin ketemu saya, tapi, karena masing-masing sibuk (atau sok sibuk, halah) kami nggak pernah kunjung ketemu.

    Pernah Yoli datang ke kantor Mizan di Cipete untuk mewawancarai Mas Haidar Bagir. Malamnya Yoli nelepon dan cerita mengenai wawancara itu. Saya tanya, wawancaranya di mana? Yoli bilang kantor Mizan di Cipete. Taela! Saya kan ngantor di situ, kata saya! Yah, namanya belum diizinkan ketemu sama Allah, ya, pasti nggak akan ketemu, ya?

    Sampai beberapa waktu kemudian, hubungan kami tetap begitu-begitu saja. Kenal suara tak kenal rupa.

    Lalu... hari Rabu (11 Juni 2008) kemarin, kami bertemu secara tidak sengaja, dalam kronologi yang lucu kalau dipikir-pikir. Begini ceritanya.

    Hari itu saya ada dua janji. Pertama dengan sebuah literary agency di daerah Gading Serpong, kedua dengan Habiburrahman El-Shirazy.

    Saya berangkat jam 09.00 tepat menuju Gading Serpong diantar sopir kantor. Di tol, Yoli menelepon dan menanyakan ke mana bagusnya dia harus menyerahkan cerita anak yang baru saja selesai dibuatnya. Bla bla bla, pembicaraan selesai dan sekitar jam 11 saya sampai di Gading Serpong.

    Selesai urusan dengan literary agency, saya makan siang dulu di jalan. Habis itu, saya langsung meluncur ke Gramedia Supermall Lippo Karawaci, tempat janji dengan Kang Abik. Janjinya sih pukul 15.00, tapi saya sengaja datang cepat karena selain bingung mau ke mana, juga karena memang ada buku yang mau saya beli.

    Pukul 13.30, saya ketemu Bang Jamil Azzaini, trainer dari Kubik Leadership, yang dulu bukunya pernah saya proof semasa masih di Mizan. Bang Jamil hari itu ada acara peluncuran bukunya. Sekitar setengah jam kemudian, saya ketemu Agus Idwar (mantan personel Snada yang sekarang punya EO). Melihat Mas Agus, saya menduga, kehadirannya di sana pasti ada hubungannya dengan kehadiran Habib di re-launching TB Gramedia itu. Benar saja, ternyata Mas Agus dapat tugas bikin audisi di beberapa kota dalam rangka mencari pemeran utama film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang sekarang sedang dalam proses. Habis ngobrol sebentar dengan Mas Agus, saya kembali berkeliaran melihat-lihat buku. Hari itu saya beruntung, karena semua buku didiskon 30% oleh Gramedia. Saya akhirnya membeli sebuah buku yang sudah lama ingin saya beli.

    Sekitar pukul 15 kurang sedikit, Habib dan rombongan datang. Dalam rombongan itu saya lihat ada Mas Mamang (Chaerul Umam, sutradara KCB), Pak Tommy dan Pak Awod (Penerbit Republika) dan seorang pria agak tembem yang menempeli Habib sejak awal.

    Saya mendekati Habib dan cipika-cipiki, saling bertukar kabar. Habib cerita dia baru saja pulang dari Padang, dan merasa sedikit kecewa karena belum sempat main ke Lembah Harau, yang tak jauh dari rumah saya.

    Karena dikerumuni banyak orang, Habib jadi tidak fokus bicara, apalagi si pria tembem menyerobot begitu saja. Katanya, "Mas Habib, apa kita bisa bicara sekarang saja sebelum acara dimulai?"

    Deg, saya langsung mikir. Rasanya saya kenal sekali suara itu.

    "Yoli?" tanya saya. Pria tembem yang saya duga Yoli Hemdi itu tampak heran. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba ada yang kenal dia di sana.

    "Ambo, Melvi," saya mengulurkan tangan.
    Pecahlah tawa kami berdua. Yoli yang masih terheran-heran segera saya ajak duduk. Yoli bilang dia nggak nyangka saya adalah Melvi. Lantas kamu kira siapa? tanya saya.

    "Ambo kira, Da Melvi tu bos Sinemart!" (Saya kira Uda Melvi itu bos Sinemart!)

    Halah! Bisa aja kau, Yoli!

    Begitulah kisah pertemuan tak terduga saya dengan lelaki tembem bernama Yoli Hemdi itu. Untuk bisa ngobrol lebih lama, saya ajak Yoli bareng saya kembali ke Jakarta. Di jalan, sopir yang mengantar kami hanya bisa bengong mendengar dua orang Padang bicara dan ketawa terbahak-bahak dengan bahasa yang tidak terlalu dimengertinya.

    Membeli Laki-laki (Cerpen)

    Membeli Laki-Laki


                “Bagi perempuan seperti kita, menikah hanyalah mimpi yang mahal.”
                Imai menancapkan tatapan heran ke arah Incim[1] Ida. Wanita lajang usia tiga puluh lima tahun itu tetap menekur. Jari-jari tangannya meliuk lincah membersihkan kaki berlumpurnya di tabek[2].
    Imai jongkok di sampingnya membantu menyiramkan air.
                “Tapi, aku dicintai Ramang. Dia berjanji akan menikah denganku.”
                “Cintamu hanya untuk hatinya, tapi jasad Ramang harus kau beli pada keluarganya. Jika yang kau ingin cinta, kau sudah mendapatkan jiwanya. Kalau mau menikahinya, kau harus menukar batang tubuhnya dengan segunung uang.”
                Beberapa lapis kerutan tersusun rapat di kening Imai. Ia bergegas mengiringi langkah Incim Ida. Tapi perawan tua itu menutup pembicaraan, “Besok kita basiang[3] di sawah Sidi Bagindo.”
                Pertarungan lumpur dari pagi hingga sore baru saja usai. Dua wanita menapaki pematang senja, mengukur hidup yang pendek dengan mengais upah di sawah. Aroma lumpur bersemayam di pori-pori mereka, walaupun sudah mandi di sungai, aroma itu tetap tak beranjak. Ya, seperti melekat kuatnya kemiskinan yang tak merubah apa pun tentang irama hidup.
    Di keremangan petang kaki-kaki telanjang meniti esok. Angin dari bukit membelai baju dan celana panjang buntut serta caping, seragam kebesaran khas buruh tani. Di cakrawala yang luas, burung-burung bergerombol, berpacu mengejar matahari yang tergelincir.
                “Akh, Ramang sangat mencintaiku,” desis Imai mengusir bayang-bayang hitam menyergap batinnya. Dan mimpi-mimpi indah tentang cinta menghiasi malam-malam yang lelah.
    ***
                Semakin sedikit keinginan, akan semakin besar kebahagiaan. Itu pesan Amak[4] yang kusimpan rapat-rapat di peti hati. Sebab itu pula aku tak pernah meminta, merengek apatah lagi mengeluh. Sampai-sampai Amak heran, apa aku tak punya keinginan. Baju baru, sendal, bedak, kain sarung atau apa pun aku beli sendiri dengan berjerih payah di sawah. Aku menambah kerja sampingan manokok[5] kerupuk Baguak[6] dan menjahit mukena hingga larut malam. Hasilnya beberapa kebutuhan pribadi bisa tertutupi dan sesekali aku menyelipkannya untuk belanja Amak. Upah keringat yang sedikit itu berarti besar bagiku. Itulah kebahagiaanku.
                “Ya.. begitulah hidup yang berkah. Rezeki yang sedikit tapi sangat besar manfaatnya,” begitu ceramah Angku[7] di Surau Beringin. Dan aku sangat menikmati hidup ini. Setiap usai shalat lima waktu, aku panjatkan doa syukur pada Allah. Segala yang telah diberikan-Nya tiada ternilai harganya.
                Hingga suatu ketika, aku punya satu keinginan saja. Rasa ingin yang meletup-letup dari lubuk terdalam di bilik hati. Keinginan yang membuatku bingung mengerjakan hal paling sepele sekalipun.
    “Imai, kenapa Sambalado[8]mu asin?”
    Aku tergagap. Wah, benar! Lidahku kecut mencicipi Sambalado yang keasinan. Hembusan angin sepoi-sepoi membelai pipi yang merona merah. Lalu meluncurlah cerita tentang keinginan yang meletup itu. Sampai-sampai kemahiran meracik Sambalado jadi kacau balau.
    Ya, aku ingin punya SUAMI!
    “Sudahlah, itu perkara biasa saja. Ini cicipi ikan Sapek dan gulai pucuk ubi,” Incim Ida mengalihkan pembicaraan.
    Biasanya, sehabis kerja kami makan sampai bersimbah keringat. Tapi kini tiada selera, santap siang di dangau tepi sawah berlangsung tanpa cita rasa. Apa enaknya makan siang tanpa Sambalado yang pedas dan lezat. Apalagi dengan hati yang bergalau.
                Ingatan Imai melesat menembus ruang dan waktu. Sejumput harapan meronta-ronta tentang sebidang hati yang tak berbentuk. Ramang itu seorang pemuda yang baik juga saleh. Dia rajin ke surau mengumandangkan azan, jadi imam kemudian mengajar anak-anak mengaji atau memberi pengajian rutin untuk bapak-bapak dan ibu-ibu.
    Ramang menyukaiku. Pesan indah ini disampaikan Buyung teman salapiak sakatiduran[9]nya di surau. Aku sangat percaya itu. Setiap kali kami tasirobok[10], Ramang tasirok[11] darah. Sama seperti gelombang rasa yang meledak di jantungku. Aku berulang kali menutupi rona merah di pipi dengan selendang tiap kali berselisih jalan. Syukurlah Buyung setia menjadi perantara dua hati. Hingga akhirnya kami berani saling bertukar kata meski beberapa patah saja, kesempatan yang dicuri-curi ketika murid-murid mengaji. Anak-anak juga tak sungkan lagi menyoraki kami dan membuatku makin tersipu.
    Ramang pintar, dia sarjana. Kok, mau ya kembali ke desa? Entahlah, masing-masing orang punya selera. Dia kelihatan sibuk tiap hari. Banyak sekali yang diurusnya di kampung ini. Orang-orang sering pula bertanya padanya. Jika aku mampir belanja di warung, sering terdengar puja-puji kaum ibu tentang Ramang. Hatiku ikut mekar, apalagi bila mereka saling bertanya siapa kelak yang beruntung mendampinginya.
    Ya, aku! Tentulah AKU!
    Akulah yang beruntung mendapatkan cinta Ramang. Sebentar lagi kampung ini akan bergembira ria melihat kami diarak-arak dinaungi payung kuning kebesaran. Dan aku akan memakai baju pengantin berwarna merah. Suntiang[12] di kepalaku adalah mahkota teragung sebagai ratu sehari. Oh, Ramangku! Tak ada lagi keinginan yang lebih indah daripada yang satu ini.
    Tetapi sekuntum mimpi indah melepuh di bibir mamak[13]nya.
                “Kemenakanku orang terpandang, dia cadiak pandai, kalian harus membayar uang jemputan[14].”
    Sambil memelintir kumis, Pak Sati menyebut deretan angka yang membuat Amak berhenti bernafas. Uang sebanyak itu tak akan pernah terkumpulkan sampai kami mati bekerja di sawah. Jangankan mengumpulkannya, menyebutkan saja betapa ngilu terasa di lidah.
                Pandangan sinis Pak Sati mengiris-iris.
    “Coba kalian bayangkan berapa uang kami pakai hingga sekarang Ramang jadi pemuda terpandang. Tidak mungkinlah kalian ambil begitu saja. Tukang panjat kelapa saja harus pakai uang jemputan. Padahal dia tak sekolah dan cuma berkawan dengan monyet.”
    Tak ada di antara kami yang berkata. Kelu dan bisu. Kristal hangat mulai mengambang di pelupuk mata seorang dara. Helai demi helai bunga cintanya terjerembab di jurang lara.
    Pak Sati tak menunggu jawaban.
                “Sudahlah! Kalau tak sanggup, carilah menantu di jalanan.” Dia melangkah pergi setelah melempar puntung rokok lewat jendela. Plak… plak… plak… hentakan kakinya di jenjang terasa godam raksasa mengantam dada.
                “Hooaak…puhhh..!!” Dahak kentalnya tersangkut di duri mawar yang kutanam dekat pagar. Aku mengintip kepergian sosok hitam kekar itu dari liang-liang gubuk dengan pandangan berkunang. Maka gelaplah dunia tanpa bintang-bintang.
    ***
                “Kenapa laki-laki harus dibeli, Amak?”
                “Karena dunia ini milik mereka. Kita lahir untuk menyenangkan laki-laki.”
                Imai merungut-rungut masam. Hatinya mengkal. Kalau sudah begitu, ia akan melampiaskan kesal dengan meniup tungku sekuat-kuatnya.
                Huufff…hufff…huuufff….
                Abu berterbangan kemana-mana. Matanya kelilipan dan terbatuk-batuk.
                Uhuk…uhukk…uhukk…
                Amak menangkap suara hati anak gadis jolong gadang[15]nya.
                “Tenanglah, kita akan coba lagi berhutang. Nanti uangnya kita pakai untuk membayar uang jemputan laki-laki, tak usah yang mahal-mahal ya!” Amak membantu meniup-niup mata Imai.
    “Tapi aku ingin Ramang.” Gadis itu merungut-rungut.
    “Janganlah kau berisau hati, nanti kita pikir jalan keluarnya.”
                Berhutang lagi, pada siapa? Bukankah orang paling kaya di kampung ini Pak Sati sendiri? Apa mungkin pinjam uang padanya untuk membeli kemenakannya? Aduh, kepalaku pusing!
    Semestinya bukan aku yang memikirkan perkara uang jemputan. Tapi orang-orang yang sepatutnya memikul tanggung jawab itu seperti tak bertenaga. Mamakku sulit diharapkan. Ia hanya penjaja ikan keliling kampung. Hidup keluarganya saja susah, bagaimana pula hendak menyelamatkan kemenakannya. Sawah warisan yang mestinya bisa digadaikan, ia jual untuk makan anak bini.
    Abak[16] menghabiskan hidupnya di lepau kopi. Dia kuat maota[17] sambil main domino dari pagi sampai petang bahkan larut malam. Sekali-kali saja dia ke sawah. Itu pun kalau omelan Amak sudah bapetai-petai.[18]
                Sudahlah! Aku sudah memahami bahwa laki-laki harus dibeli. Mimpi indah tidaklah gratis. Begitu kata adat, begitu kehendak mereka. Aku lahir disini, makan dan minum dari bumi ini dan harus patuh dengan apa yang diinginkan negeri ini.
                Sorot mata Imai menyala-nyala. Ada hasrat yang berkobar.
    Nyiiit…nyiiiit…nyiiiiiit… suara arit berkarat mencicit-cicit.
                “Mai, apa yang kau lakukan?”
                “Bikin celengan bambu, Amak!”
                “Oooo… mau nabung, baguslah!”
                Yup.  Amak menyetujuinya. Gadis itu menggantung celengan di kamar. Tiap punya uang dia selipkan recehan, ribuan atau uang seberapapun. Sejak itu ia jadi lebih bersemangat bekerja di sawah, membersihkan ladang, atau manokok kerupuk Baguak. Semua upahnya disesaki ke celengan bambu. Semoga lekas penuh ya Allah! Begitu doanya tiap kali mengelus-elus celengan.
                Incim Ida bungkam. Padahal Imai bercerita dengan berapi-api.
                Incim, aku janji akan semangat menabung.”
                “Percuma, berapalah yang dihasilkan peluhmu! Nasibmu tak akan jauh dari diriku. Ya, kau dan aku akan sama-sama tua dan mati dalam keadaan perawan, ha…ha…ha..” tawanya menyayat sukma.
                Huh, Incim Ida hanya menakut-nakutiku. Aku tak boleh gentar. Apalagi Ramang sudah memberiku sekuntum bunga. Dia pemuda baik dan setia. Aku tahu dan yakin itu.
                Masa terus berlari, sementara Imai menyongsongnya dengan merangkak. Betapa lamanya waktu untuk memenuhkan celengan panjang ini. Dan suara-suara tajam itu memekakkan gendang telinga.
                Kamu harus membeli laki-laki! Ya, suami itu harus ditukar dengan segunung rupiah atau benda-benda mahal seperti motor dan mobil. Setelah itu engkau berhak memboyongnya sebagai pejantan. Lelaki yang akan menebar benih di rahimmu, yang akan mereguk kenikmatan dari ragamu.
                Kalau kau tak punya uang, celakalah masa depan kegadisanmu! Kau akan dikutuki adat sebagai perawan tua. Tidak ada yang akan menoleh pada kemelaratanmu. Tak ada yang meminati batang tubuhmu.
                Bertahun-tahun Imai menabung. Sudah banyak celengan bambu menghiasi dinding kamar. Sayang tak banyak isinya, kecuali beberapa lembar rupiah serta uang-uang logam. Tiap hari ia menciumi celengan bambu. Ia membayangkannya seorang pangeran berkuda putih menjemput.
                Ya, benar kata Incim Ida, hasil jerih peluh keringatku tak seberapa. Terlalu lama untuk memenuhi satu celengan bambu saja. Aku menepis saran menikahi laki-laki yang di jalanan. Tidak. Aku tak sudi menyia-nyiakan hidupku. Aku ingin suami yang baik, pintar dan saleh. Cukuplah aku yang dibodohi zaman ini. Kelak, anak-anak yang akan kulahirkan meniru kepintaran dan budi bapaknya. Sebab itu, tak apalah aku bekerja lebih keras lagi.
    Musim-musim silih berganti. Musim bercinta berakhir dengan gugurnya mimpi helai demi helai. Mamak Ramang tak mau menanti tabungan yang mustahil membubung. Ramang dinikahkan dengan Rahma, puteri tunggal Pak Sati. Pernikahan yang jelas-jelas bukan atas nama cinta kecuali hutang budi. Segala biaya kuliah Ramang ditanggung sang mamak. Cukup sebagai senjata bagi Pak Sati  menyodorkan anak gadisnya. Pesta besar segera digelar meriah dan membuat orang sekampung kurang tidur seminggu.
                Baralek gadang[19] kontan membuat semangat hidup Imai patah. Gadis itu tak bernafsu menyentuh makanan yang disodorkan Amak. Ia hanya menelan air mata dan meminum darah dari hati yang luka. Beberapa bulan ia tergolek lemas. Seringkali Imai mengigau, dan ia menyebut-nyebut celengan bambu.
                Hingga cahaya mukjizat itu merasuk ke jiwanya. Imai bangkit dengan tulang berbalut kulit. Tubuhnya meranggas, wajah pias dan bibir pucat. Namun kekuatan digdaya telah meledakkan jiwa dan membuat matanya kembali menyala.
                “Kenapa kamu tak istirahat saja? Lihatlah, tubuhmu makin kurus, matamu cekung!”
                Aku menggigit bibir. Kuraih parang dan melangkah ke tepi hutan. Aku tebangi bambu-bambu terbaik. Nanti dibuat lebih banyak celengan bambu.
                “Nak, tubuhmu kurus, makanlah!”
                Aku tak butuh lagi makan minum. Senja begitu cepat mengejar detak jantungku. Aku harus lebih cepat menabung. Nanti, tak ada lagi yang bisa menghina kemiskinanku. Ya, tak ada lagi yang menghalangi hari pernikahan kami.
                Aku tebangi bambu di tebing-tebing. Aku seret pulang. Aku buat sebanyak-banyaknya dan kugantung sampai penuh hingga ke langit-langit rumah. Lihatlah, kini hampir semua bagian rumah digantungi celengan bambu.
                Amak yang renta terpana.
    “Apa yang kau lakukan Imai? Lihatlah, rumah kita hampir penuh dengan celengan bambumu! Juallah ke pasar agar menjadi uang.”
                Huh, tak ada yang paham maksudku. Aku sendiri yang akan mengisi semuanya sampai melimpah. Tapi dengan apa?
                Aha… di sela-sela rumpun bambu aku temukan harta karun. Ya, tumpukan uang-uang kertas yang sangat dicari mamak-mamak mata duitan. Aku melonjak-lonjak girang dan menghambur-hamburkannya ke udara. Sungguh sore yang menakjubkan! Senangnya hatiku mandi dengan siraman uang sebanyak ini.
    Wah, benar-benar banyak, berserakan di sela rimbunan bambu. Belum pernah kulihat uang begini melimpah. Aku bungkus hati-hati dengan kain sarung dan memikulnya kala senja sudah remang-remang. Jangan sampai ketahuan orang lain.
                “Apa yang kau lakukan! Mengapa kau simpan daun-daun kering itu di celengan bambu.”
                Nah, tertipu. Ha…ha…ha….. mereka mau saja dibodohi mata sendiri. Sampai-sampai mengira uang indah ini sebagai daun kering. Akh…mereka memang bodoh. Aku tak perlu lagi ke sawah, tak usah mendengan omelan Mak Juha tiap kali tumbukan Baguak miliknya tidak bagus. Aku akan segera kaya dan punya suami.
                Ya Tuhan, aku tak sempat lagi mandi. Nanti saja basegeh[20] kalau akan menikah.  Dengan siapa ya? Akh… Ramang, ya Ramang! Dia akan datang kembali untukku. Tentu saja.
    ***
    “Dia harus dipasung!”
                “Jangan… “ seorang perempuan renta bersimpuh. Ia terisak-isak.
                “Kamu lihat sendiri ulahnya, tiap hari menebangi bambu-bambu milik orang kampung. Dia mengumpulkan daun-daun kering dan membuat celengan bambu begini banyak.”
                “Ayo…seret dia!”
                “Kenapa kau sekejam itu Udin. Dia masih kemenakanmu!” jerit Amak menggigil.
                “Puhh… perempuan gila karena tak laku. Puhh… tak sudi aku punya kemenakan seperti dia.”
                “Lihat kepala istriku! Baru kemarin dibacoknya saat mencuri bambu kami!” Boyong mengepalkan tangan ke udara.
                Haaaaaah… Aku tak sanggup mendengar suaru pilu Amak. Mereka pastilah iblis yang iri dengan tabunganku. Aku raih dua celengan bambu dan mulai memukuli. Ya, kepala orang-orang gila seperti mereka memang harus dipukuli supaya sadar.
    Bak..buk…bak…bugh…
                Tapi… Mereka jahat. Aku gelap dan hitam.
                Kini aku terjerat di sarang laba-laba raksasa.. Tubuhku teramat letih, semua tulang belulang merintih nyeri. Mereka jahat padaku dan merantai kedua kakiku di kayu. Amak seringkali datang menyuapi. Aku menolaknya. Aku tak sempat karena sibuk. Ya, betapa sibuknya aku bicara pada bulan bila gelap telah menyelimuti hati. Berbicara sepuas-puasnya tentang sepotong mimpi yang tak terbingkai.
    Ramang…oh Ramang.
    Berbilang purnama telah berganti. Aku selalu menyanyikan mimpi indah tentang Ramang. Bulan, bintang dan semua penduduk langit menikmati alunan terindah dari lagu piluku.
    Akhirnya, ia datang bersama kepakan sayap malaikat. Ramang mengelus-elus rambutku dan aku kembali bernyanyi dalam nada-nada air mata.
                “Tidaakkkkk…..!” Aku mencengkram lehernya kuat-kuat. Ia tak boleh lepas dari sisiku. Aku tak mau kehilangannya.
                “Lepaskan…lepaskan… kumohon…. Akhhh..” Ramang meratap-ratap.
                Tidak kau cintaku dan aku adalah cintamu. Perpisahan adalah keharaman dalam cinta. Tangan Imai menjadi besi mencengkram dan tak bisa dilepaskan.
                Akhhhh….. akhh… akh…. kami sama-sama menggelepar dalam tarian luka!
    ***




    [1] Incim: (kakak) panggilan hormat pada wanita yang lebih tua.
    [2] Tabek: kolam ikan yang bisa juga dipakai mandi atau mencuci.
    [3] Basiang: membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di antara padi.
    [4] Amak: ibu
    [5] Manokok: menumbuk
    [6] Baguak: Melinjo
    [7] Angku: ulama/ustadz
    [8] Sambalado: sambal cabe yang pedas dan lezat dicampur bawang, garam, terasi dan tomat.  
    [9] Salapiak sakatiduran: tidur ditikar yang sama, maksudnya sahabat dekat.
    [10] Tasirobok; bertemu mendadak
    [11] Tasirok: berdesir hebat
    [12] Suntiang: mahkota keemasan yang dipakai pengantin perempuan
    [13] Mamak: paman dari pihak ibu. Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakannya. Begitu aturan dalam adat Minangkabau yang menganut matrilinial.
    [14]Salah satu daerah di Minangkabau mengenal tradisi “uang jemputan” dalam pernikahan, dimana pihak keluarga perempuan menyerahkan sejumlah uang atau barang berharga semisal motor atau mobil pada keluarga laki-laki. Makin tinggi status sosial dan kondisi finansial calon pengantin pria, maka makin besar pula nilai uang jemputan yang mesti diserahkan. Tradisi uang hilang ini dikenal juga dengan istilah kasarnya ‘membeli laki-laki’. Belakangan, tradisi ini mulai ditinggalkan terutama oleh kalangan moderat karena memberatkan pihak keluarga perempuan.
    [15] Jolong gadang: anak gadis yang sedang tumbuh dewasa.
    [16] Abak: ayah
    [17] Maota: ngobrol tak tentu arah
    [18] Bapetai-petai; panjang lebar
    [19] Baralek Gadang: kenduri atau pesta nikah besar-besaran
    [20] Basegeh: bersolek