Minggu, 10 April 2011

Playboy Batavia



        Pernahkah kita membayangkan seorang kaya buang hajat di sungai, lalu cebok (membersihkan duburnya) dengan beberapa lembar uang Rp 100.000,-? Lantas di bawah aliran sungai belasan orang berkelahi hingga terluka gara-gara memperebutkan lembaran uang bekas tinja manusia itu.

            Eits, jangan mencap cerita itu mengada-ada saja! Soalnya kejadian seperti itu memang pernah ada dan nyata. Kejadian ratusan tahun lalu ini bisa menjadi pelajaran bagi kita dalam memahami hakikat kebahagiaan.

            Tatkala memasuki kawasan Glodok setelah melewati Pancoran terdapat Jalan Toko Tiga. Pada paruh pertama abad ke-19, kira-kira tahun  1830, di kawasan Toko Tiga terdapat sebuah toko tembakau terbesar di Batavia (Jakarta sekarang). Pemiliknya seorang juragan bernama Oey Thay, yang berasal dari Pekalongan. Bisnis tembakaunya benar-benar maju pesat, apalagi sebagian besar penghuni Batavia doyan makan sirih, begitu pula di wilayah lain. Kerajaan bisnis bukan saja membuatnya kaya raya, tapi juga mengangkat gengsinya di masyarakat.

            Oey Thay meninggal dunia pada usia 50 tahun dengan meninggalkan empat orang anak dan harta warisan sangat banyak. Warisannya meliputi hamparan tanah amat luas di Pasar Baru, Curug, Tangerang dengan sewa 95 ribu gulden setahun. Padahal di zaman itu orang cukup uang 10 gulden guna hidup hidup sederhana dalam sehari. Warisan lainnya beberapa rumah, tumpukan uang, dan perhiasan. Total kekayaannya ditaksir mencapai dua juta gulden. Lagi-lagi di waktu itu, hanya segelintir orang memiliki kekayaan sebesar itu.

            Warisan yang dipercaya tak akan habis tujuh turunan tersebut jatuh bak durian runtuh pada anak-anaknya. Sayang, juragan tembakau itu tidak mewariskan kearifan hidup pada anak-anaknya. Akibatnya anak-anak itu hidup lupa diri.

            Salah seorang putranya yang paling terkenal adalah Oey Tambahsia. Selain tampang yang memang rupawan, Oey seorang yang gemar berfoya-foya, dan mengejar para gadis. Hobinya jalan-jalan berkuda keliling kota Batavia. Biar terlihat keren, anak muda itu memakai baju mewah dan dikelilingi para pengawal jagoan. Bahkan kudanya yang juga gagah sengaja diimpor dari Australia,

            Oey muda punya matanya yang jelalatan mencari gadis-gadis jelita. Tidak semua orangtua terpukau oleh harta benda. Buktinya, banyak juga ayah ibu yang buru-buru menyembunyikan anak gadisnya di rumah. Bahkan rumahnya itu pun ditutup supaya anak gadisnya tak kelihatan oleh playboy tersebut.
            Warisan harta yang banyak membuatnya kebingungan. Oey Tambahsia juga melakukan hal-hal yang teramat aneh. Dia menghambur-hamburkan uang jerih payah almarhum ayahnya dengan cara yang gila. Di Jalan Toko Tiga, terdapat sebuah sungai yang saat itu airnya masih jernih. Tiap pagi, tiap kali Oey Tambahsia buang air besar di sungai tersebut, belasan orang sudah menunggunya. Jangan berpikir mereka datang pagi-pagi hanya untuk mengintip laki-laki buang hajat. Oey Tambahsia cebok menggunakan uang kertas untuk membersihkan sisa kotoran di duburnya. Uang-uang kertas itu lalu dibuangnya di sungai. Itulah saat-saat yang menggembirakan bagi sekelompok manusia yang sudah berkumpul di aliran sungai itu. Uang-uang kertas itu mereka rebutkan bahkan dengan kekerasan. Tak jarang ada yang sampai terluka akibat berkelahi. Oey Tambahsia senang alang kepalang dengan perangai anehnya itu.
            Perjalanan sang playboy sampai ke wilayah Senen. Kebetulan ia melihat seorang gadis molek dari keluarga Sim muncul dari balik pintu rumah. Kejadian itu disebut kebetulan karena gadis-gadis Tionghoa di masa itu sama nasibnya dengan gadis pribumi yang dipingit dalam rumah. Para gadis keluar rumah hanya untuk keperluan penting dan itu pun harus ditemani orangtua dan kerabatnya.

            Singkat cerita, Oey Tambahsia berhasil mempersunting gadis cantik itu dengan bermodalkan ketampanan, harta benda dan kegombalannya. Maka digelarlah pesta pernikahan yang diyakini sebagai pernikahan terbesar yang tak ada tandingannya di Batavia. Kemeriahan pesta perkawinan itu disemarakkan oleh penampilan wayang Cina, tayuban, arak-arakan, dan kembang api.

            Pesta besar itu berlangsung beberapa hari. Akibatnya Mayor Cina Tan Eng Goang yang tinggal di jalan yang sama jadi geram. Dewan Cina pun merasa dilangkahi karena Oey mengadakan pesta dengan menutup akses jalan tanpa meminta izin. Oey Tambahsia tak peduli dengan perasaan dan kepentingan orang lain dan pesta besar telah menenggelamkan suara-suara protes.
            Rupanya pesta besar dengan biaya besar tidak menjamin kebahagiaan rumah tangga. Oey Tambahsia hanya beberapa minggu saja menikmati perkawinannya, setelah itu ia pun bosan dan istrinya ditelantarkan. Playboy itu kembali kepada habitat aslinya berfoya-foya dan main wanita nakal. Dia mempunyai vila Bintang Mas di Ancol yang digunakan sebagai tempat bermaksiat. Perjalanannya sampai ke Pekalongan hingga jatuh cinta pada seorang pesinden dan langsung membawanya ke Batavia.

            Sejak itu rumah tangganya berantakan dan Oey Tambahsia semakin lupa daratan. Dia meningkatkan kegilaannya dengan menjadi pembunuh berdarah dingin. Atas nama persaingan bisnis, ia membunuh seorang pesaingnya dengan cara keji. Sialnya, korban adalah seorang menantu Mayor Cina.

            Oey Tambahsia pun kena batunya. Dia dijatuhi mati dengan cara digantung. Ketika tali gantungan telah menjerat lehernya, algojo pun menendang dingklik (tempat pijakan kaki yang dipakai berdiri). Dan terjeratlah leher Oey, terkapar dan mati dalam usia 31 tahun. Harta benda, ketampanan dan keangkuhan telah mengakhiri hidupnya tanpa kebahagiaan.
1. Sebaik-baik warisan adalah ilmu yang bermanfaat dan akhlak terpuji. Itulah yang akan   menghasilkan kebahagiaan.

2. Bahagia bukan dengan memelihara banyak wanita simpanan, tapi membangun cinta yang tulus dari istri.

3. Kekayaan dan ketampanan tak mampu membeli kebahagiaan sejati

4. Keberhasilan mendapatkan wanita cantik belum jaminan memperoleh cintanya.

Sumber:
Alwi Shahab, Si Playboy Batavia, koran Republika, Minggu, 13 Juni 2004
Sam Setyautama dan Suma Miharja, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2008
Sumber foto: http://www.travelpod.com, salah satu sudut kota Batavia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar