Minggu, 03 April 2011

13 Juni 2008
Namanya Yoli Hemdi, seorang penulis produktif dan wartawan sebuah majalah Islam terbitan Jakarta. Saya dengar namanya pertama kali saat saya masih jadi redaktur di Annida. Yoli memang penulis yang banyak menulis dan pantang menyerah.

Lalu--saya lupa tahun berapa--setamat kuliah S2 di Padang, Yoli pindah ke Jakarta. Dia mencari kerja di Jakarta dan langsung diterima di majalah tempatnya bekerja sekarang. Sejak saat itu, saya dan Yoli sering telepon-teleponan. Tak terlalu sering, tapi lumayan rutin. Yoli udah sering bilang ingin ketemu saya, tapi, karena masing-masing sibuk (atau sok sibuk, halah) kami nggak pernah kunjung ketemu.

Pernah Yoli datang ke kantor Mizan di Cipete untuk mewawancarai Mas Haidar Bagir. Malamnya Yoli nelepon dan cerita mengenai wawancara itu. Saya tanya, wawancaranya di mana? Yoli bilang kantor Mizan di Cipete. Taela! Saya kan ngantor di situ, kata saya! Yah, namanya belum diizinkan ketemu sama Allah, ya, pasti nggak akan ketemu, ya?

Sampai beberapa waktu kemudian, hubungan kami tetap begitu-begitu saja. Kenal suara tak kenal rupa.

Lalu... hari Rabu (11 Juni 2008) kemarin, kami bertemu secara tidak sengaja, dalam kronologi yang lucu kalau dipikir-pikir. Begini ceritanya.

Hari itu saya ada dua janji. Pertama dengan sebuah literary agency di daerah Gading Serpong, kedua dengan Habiburrahman El-Shirazy.

Saya berangkat jam 09.00 tepat menuju Gading Serpong diantar sopir kantor. Di tol, Yoli menelepon dan menanyakan ke mana bagusnya dia harus menyerahkan cerita anak yang baru saja selesai dibuatnya. Bla bla bla, pembicaraan selesai dan sekitar jam 11 saya sampai di Gading Serpong.

Selesai urusan dengan literary agency, saya makan siang dulu di jalan. Habis itu, saya langsung meluncur ke Gramedia Supermall Lippo Karawaci, tempat janji dengan Kang Abik. Janjinya sih pukul 15.00, tapi saya sengaja datang cepat karena selain bingung mau ke mana, juga karena memang ada buku yang mau saya beli.

Pukul 13.30, saya ketemu Bang Jamil Azzaini, trainer dari Kubik Leadership, yang dulu bukunya pernah saya proof semasa masih di Mizan. Bang Jamil hari itu ada acara peluncuran bukunya. Sekitar setengah jam kemudian, saya ketemu Agus Idwar (mantan personel Snada yang sekarang punya EO). Melihat Mas Agus, saya menduga, kehadirannya di sana pasti ada hubungannya dengan kehadiran Habib di re-launching TB Gramedia itu. Benar saja, ternyata Mas Agus dapat tugas bikin audisi di beberapa kota dalam rangka mencari pemeran utama film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang sekarang sedang dalam proses. Habis ngobrol sebentar dengan Mas Agus, saya kembali berkeliaran melihat-lihat buku. Hari itu saya beruntung, karena semua buku didiskon 30% oleh Gramedia. Saya akhirnya membeli sebuah buku yang sudah lama ingin saya beli.

Sekitar pukul 15 kurang sedikit, Habib dan rombongan datang. Dalam rombongan itu saya lihat ada Mas Mamang (Chaerul Umam, sutradara KCB), Pak Tommy dan Pak Awod (Penerbit Republika) dan seorang pria agak tembem yang menempeli Habib sejak awal.

Saya mendekati Habib dan cipika-cipiki, saling bertukar kabar. Habib cerita dia baru saja pulang dari Padang, dan merasa sedikit kecewa karena belum sempat main ke Lembah Harau, yang tak jauh dari rumah saya.

Karena dikerumuni banyak orang, Habib jadi tidak fokus bicara, apalagi si pria tembem menyerobot begitu saja. Katanya, "Mas Habib, apa kita bisa bicara sekarang saja sebelum acara dimulai?"

Deg, saya langsung mikir. Rasanya saya kenal sekali suara itu.

"Yoli?" tanya saya. Pria tembem yang saya duga Yoli Hemdi itu tampak heran. Dia masih bingung kenapa tiba-tiba ada yang kenal dia di sana.

"Ambo, Melvi," saya mengulurkan tangan.
Pecahlah tawa kami berdua. Yoli yang masih terheran-heran segera saya ajak duduk. Yoli bilang dia nggak nyangka saya adalah Melvi. Lantas kamu kira siapa? tanya saya.

"Ambo kira, Da Melvi tu bos Sinemart!" (Saya kira Uda Melvi itu bos Sinemart!)

Halah! Bisa aja kau, Yoli!

Begitulah kisah pertemuan tak terduga saya dengan lelaki tembem bernama Yoli Hemdi itu. Untuk bisa ngobrol lebih lama, saya ajak Yoli bareng saya kembali ke Jakarta. Di jalan, sopir yang mengantar kami hanya bisa bengong mendengar dua orang Padang bicara dan ketawa terbahak-bahak dengan bahasa yang tidak terlalu dimengertinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar