Minggu, 03 April 2011

Membeli Laki-laki (Cerpen)

Membeli Laki-Laki


            “Bagi perempuan seperti kita, menikah hanyalah mimpi yang mahal.”
            Imai menancapkan tatapan heran ke arah Incim[1] Ida. Wanita lajang usia tiga puluh lima tahun itu tetap menekur. Jari-jari tangannya meliuk lincah membersihkan kaki berlumpurnya di tabek[2].
Imai jongkok di sampingnya membantu menyiramkan air.
            “Tapi, aku dicintai Ramang. Dia berjanji akan menikah denganku.”
            “Cintamu hanya untuk hatinya, tapi jasad Ramang harus kau beli pada keluarganya. Jika yang kau ingin cinta, kau sudah mendapatkan jiwanya. Kalau mau menikahinya, kau harus menukar batang tubuhnya dengan segunung uang.”
            Beberapa lapis kerutan tersusun rapat di kening Imai. Ia bergegas mengiringi langkah Incim Ida. Tapi perawan tua itu menutup pembicaraan, “Besok kita basiang[3] di sawah Sidi Bagindo.”
            Pertarungan lumpur dari pagi hingga sore baru saja usai. Dua wanita menapaki pematang senja, mengukur hidup yang pendek dengan mengais upah di sawah. Aroma lumpur bersemayam di pori-pori mereka, walaupun sudah mandi di sungai, aroma itu tetap tak beranjak. Ya, seperti melekat kuatnya kemiskinan yang tak merubah apa pun tentang irama hidup.
Di keremangan petang kaki-kaki telanjang meniti esok. Angin dari bukit membelai baju dan celana panjang buntut serta caping, seragam kebesaran khas buruh tani. Di cakrawala yang luas, burung-burung bergerombol, berpacu mengejar matahari yang tergelincir.
            “Akh, Ramang sangat mencintaiku,” desis Imai mengusir bayang-bayang hitam menyergap batinnya. Dan mimpi-mimpi indah tentang cinta menghiasi malam-malam yang lelah.
***
            Semakin sedikit keinginan, akan semakin besar kebahagiaan. Itu pesan Amak[4] yang kusimpan rapat-rapat di peti hati. Sebab itu pula aku tak pernah meminta, merengek apatah lagi mengeluh. Sampai-sampai Amak heran, apa aku tak punya keinginan. Baju baru, sendal, bedak, kain sarung atau apa pun aku beli sendiri dengan berjerih payah di sawah. Aku menambah kerja sampingan manokok[5] kerupuk Baguak[6] dan menjahit mukena hingga larut malam. Hasilnya beberapa kebutuhan pribadi bisa tertutupi dan sesekali aku menyelipkannya untuk belanja Amak. Upah keringat yang sedikit itu berarti besar bagiku. Itulah kebahagiaanku.
            “Ya.. begitulah hidup yang berkah. Rezeki yang sedikit tapi sangat besar manfaatnya,” begitu ceramah Angku[7] di Surau Beringin. Dan aku sangat menikmati hidup ini. Setiap usai shalat lima waktu, aku panjatkan doa syukur pada Allah. Segala yang telah diberikan-Nya tiada ternilai harganya.
            Hingga suatu ketika, aku punya satu keinginan saja. Rasa ingin yang meletup-letup dari lubuk terdalam di bilik hati. Keinginan yang membuatku bingung mengerjakan hal paling sepele sekalipun.
“Imai, kenapa Sambalado[8]mu asin?”
Aku tergagap. Wah, benar! Lidahku kecut mencicipi Sambalado yang keasinan. Hembusan angin sepoi-sepoi membelai pipi yang merona merah. Lalu meluncurlah cerita tentang keinginan yang meletup itu. Sampai-sampai kemahiran meracik Sambalado jadi kacau balau.
Ya, aku ingin punya SUAMI!
“Sudahlah, itu perkara biasa saja. Ini cicipi ikan Sapek dan gulai pucuk ubi,” Incim Ida mengalihkan pembicaraan.
Biasanya, sehabis kerja kami makan sampai bersimbah keringat. Tapi kini tiada selera, santap siang di dangau tepi sawah berlangsung tanpa cita rasa. Apa enaknya makan siang tanpa Sambalado yang pedas dan lezat. Apalagi dengan hati yang bergalau.
            Ingatan Imai melesat menembus ruang dan waktu. Sejumput harapan meronta-ronta tentang sebidang hati yang tak berbentuk. Ramang itu seorang pemuda yang baik juga saleh. Dia rajin ke surau mengumandangkan azan, jadi imam kemudian mengajar anak-anak mengaji atau memberi pengajian rutin untuk bapak-bapak dan ibu-ibu.
Ramang menyukaiku. Pesan indah ini disampaikan Buyung teman salapiak sakatiduran[9]nya di surau. Aku sangat percaya itu. Setiap kali kami tasirobok[10], Ramang tasirok[11] darah. Sama seperti gelombang rasa yang meledak di jantungku. Aku berulang kali menutupi rona merah di pipi dengan selendang tiap kali berselisih jalan. Syukurlah Buyung setia menjadi perantara dua hati. Hingga akhirnya kami berani saling bertukar kata meski beberapa patah saja, kesempatan yang dicuri-curi ketika murid-murid mengaji. Anak-anak juga tak sungkan lagi menyoraki kami dan membuatku makin tersipu.
Ramang pintar, dia sarjana. Kok, mau ya kembali ke desa? Entahlah, masing-masing orang punya selera. Dia kelihatan sibuk tiap hari. Banyak sekali yang diurusnya di kampung ini. Orang-orang sering pula bertanya padanya. Jika aku mampir belanja di warung, sering terdengar puja-puji kaum ibu tentang Ramang. Hatiku ikut mekar, apalagi bila mereka saling bertanya siapa kelak yang beruntung mendampinginya.
Ya, aku! Tentulah AKU!
Akulah yang beruntung mendapatkan cinta Ramang. Sebentar lagi kampung ini akan bergembira ria melihat kami diarak-arak dinaungi payung kuning kebesaran. Dan aku akan memakai baju pengantin berwarna merah. Suntiang[12] di kepalaku adalah mahkota teragung sebagai ratu sehari. Oh, Ramangku! Tak ada lagi keinginan yang lebih indah daripada yang satu ini.
Tetapi sekuntum mimpi indah melepuh di bibir mamak[13]nya.
            “Kemenakanku orang terpandang, dia cadiak pandai, kalian harus membayar uang jemputan[14].”
Sambil memelintir kumis, Pak Sati menyebut deretan angka yang membuat Amak berhenti bernafas. Uang sebanyak itu tak akan pernah terkumpulkan sampai kami mati bekerja di sawah. Jangankan mengumpulkannya, menyebutkan saja betapa ngilu terasa di lidah.
            Pandangan sinis Pak Sati mengiris-iris.
“Coba kalian bayangkan berapa uang kami pakai hingga sekarang Ramang jadi pemuda terpandang. Tidak mungkinlah kalian ambil begitu saja. Tukang panjat kelapa saja harus pakai uang jemputan. Padahal dia tak sekolah dan cuma berkawan dengan monyet.”
Tak ada di antara kami yang berkata. Kelu dan bisu. Kristal hangat mulai mengambang di pelupuk mata seorang dara. Helai demi helai bunga cintanya terjerembab di jurang lara.
Pak Sati tak menunggu jawaban.
            “Sudahlah! Kalau tak sanggup, carilah menantu di jalanan.” Dia melangkah pergi setelah melempar puntung rokok lewat jendela. Plak… plak… plak… hentakan kakinya di jenjang terasa godam raksasa mengantam dada.
            “Hooaak…puhhh..!!” Dahak kentalnya tersangkut di duri mawar yang kutanam dekat pagar. Aku mengintip kepergian sosok hitam kekar itu dari liang-liang gubuk dengan pandangan berkunang. Maka gelaplah dunia tanpa bintang-bintang.
***
            “Kenapa laki-laki harus dibeli, Amak?”
            “Karena dunia ini milik mereka. Kita lahir untuk menyenangkan laki-laki.”
            Imai merungut-rungut masam. Hatinya mengkal. Kalau sudah begitu, ia akan melampiaskan kesal dengan meniup tungku sekuat-kuatnya.
            Huufff…hufff…huuufff….
            Abu berterbangan kemana-mana. Matanya kelilipan dan terbatuk-batuk.
            Uhuk…uhukk…uhukk…
            Amak menangkap suara hati anak gadis jolong gadang[15]nya.
            “Tenanglah, kita akan coba lagi berhutang. Nanti uangnya kita pakai untuk membayar uang jemputan laki-laki, tak usah yang mahal-mahal ya!” Amak membantu meniup-niup mata Imai.
“Tapi aku ingin Ramang.” Gadis itu merungut-rungut.
“Janganlah kau berisau hati, nanti kita pikir jalan keluarnya.”
            Berhutang lagi, pada siapa? Bukankah orang paling kaya di kampung ini Pak Sati sendiri? Apa mungkin pinjam uang padanya untuk membeli kemenakannya? Aduh, kepalaku pusing!
Semestinya bukan aku yang memikirkan perkara uang jemputan. Tapi orang-orang yang sepatutnya memikul tanggung jawab itu seperti tak bertenaga. Mamakku sulit diharapkan. Ia hanya penjaja ikan keliling kampung. Hidup keluarganya saja susah, bagaimana pula hendak menyelamatkan kemenakannya. Sawah warisan yang mestinya bisa digadaikan, ia jual untuk makan anak bini.
Abak[16] menghabiskan hidupnya di lepau kopi. Dia kuat maota[17] sambil main domino dari pagi sampai petang bahkan larut malam. Sekali-kali saja dia ke sawah. Itu pun kalau omelan Amak sudah bapetai-petai.[18]
            Sudahlah! Aku sudah memahami bahwa laki-laki harus dibeli. Mimpi indah tidaklah gratis. Begitu kata adat, begitu kehendak mereka. Aku lahir disini, makan dan minum dari bumi ini dan harus patuh dengan apa yang diinginkan negeri ini.
            Sorot mata Imai menyala-nyala. Ada hasrat yang berkobar.
Nyiiit…nyiiiit…nyiiiiiit… suara arit berkarat mencicit-cicit.
            “Mai, apa yang kau lakukan?”
            “Bikin celengan bambu, Amak!”
            “Oooo… mau nabung, baguslah!”
            Yup.  Amak menyetujuinya. Gadis itu menggantung celengan di kamar. Tiap punya uang dia selipkan recehan, ribuan atau uang seberapapun. Sejak itu ia jadi lebih bersemangat bekerja di sawah, membersihkan ladang, atau manokok kerupuk Baguak. Semua upahnya disesaki ke celengan bambu. Semoga lekas penuh ya Allah! Begitu doanya tiap kali mengelus-elus celengan.
            Incim Ida bungkam. Padahal Imai bercerita dengan berapi-api.
            Incim, aku janji akan semangat menabung.”
            “Percuma, berapalah yang dihasilkan peluhmu! Nasibmu tak akan jauh dari diriku. Ya, kau dan aku akan sama-sama tua dan mati dalam keadaan perawan, ha…ha…ha..” tawanya menyayat sukma.
            Huh, Incim Ida hanya menakut-nakutiku. Aku tak boleh gentar. Apalagi Ramang sudah memberiku sekuntum bunga. Dia pemuda baik dan setia. Aku tahu dan yakin itu.
            Masa terus berlari, sementara Imai menyongsongnya dengan merangkak. Betapa lamanya waktu untuk memenuhkan celengan panjang ini. Dan suara-suara tajam itu memekakkan gendang telinga.
            Kamu harus membeli laki-laki! Ya, suami itu harus ditukar dengan segunung rupiah atau benda-benda mahal seperti motor dan mobil. Setelah itu engkau berhak memboyongnya sebagai pejantan. Lelaki yang akan menebar benih di rahimmu, yang akan mereguk kenikmatan dari ragamu.
            Kalau kau tak punya uang, celakalah masa depan kegadisanmu! Kau akan dikutuki adat sebagai perawan tua. Tidak ada yang akan menoleh pada kemelaratanmu. Tak ada yang meminati batang tubuhmu.
            Bertahun-tahun Imai menabung. Sudah banyak celengan bambu menghiasi dinding kamar. Sayang tak banyak isinya, kecuali beberapa lembar rupiah serta uang-uang logam. Tiap hari ia menciumi celengan bambu. Ia membayangkannya seorang pangeran berkuda putih menjemput.
            Ya, benar kata Incim Ida, hasil jerih peluh keringatku tak seberapa. Terlalu lama untuk memenuhi satu celengan bambu saja. Aku menepis saran menikahi laki-laki yang di jalanan. Tidak. Aku tak sudi menyia-nyiakan hidupku. Aku ingin suami yang baik, pintar dan saleh. Cukuplah aku yang dibodohi zaman ini. Kelak, anak-anak yang akan kulahirkan meniru kepintaran dan budi bapaknya. Sebab itu, tak apalah aku bekerja lebih keras lagi.
Musim-musim silih berganti. Musim bercinta berakhir dengan gugurnya mimpi helai demi helai. Mamak Ramang tak mau menanti tabungan yang mustahil membubung. Ramang dinikahkan dengan Rahma, puteri tunggal Pak Sati. Pernikahan yang jelas-jelas bukan atas nama cinta kecuali hutang budi. Segala biaya kuliah Ramang ditanggung sang mamak. Cukup sebagai senjata bagi Pak Sati  menyodorkan anak gadisnya. Pesta besar segera digelar meriah dan membuat orang sekampung kurang tidur seminggu.
            Baralek gadang[19] kontan membuat semangat hidup Imai patah. Gadis itu tak bernafsu menyentuh makanan yang disodorkan Amak. Ia hanya menelan air mata dan meminum darah dari hati yang luka. Beberapa bulan ia tergolek lemas. Seringkali Imai mengigau, dan ia menyebut-nyebut celengan bambu.
            Hingga cahaya mukjizat itu merasuk ke jiwanya. Imai bangkit dengan tulang berbalut kulit. Tubuhnya meranggas, wajah pias dan bibir pucat. Namun kekuatan digdaya telah meledakkan jiwa dan membuat matanya kembali menyala.
            “Kenapa kamu tak istirahat saja? Lihatlah, tubuhmu makin kurus, matamu cekung!”
            Aku menggigit bibir. Kuraih parang dan melangkah ke tepi hutan. Aku tebangi bambu-bambu terbaik. Nanti dibuat lebih banyak celengan bambu.
            “Nak, tubuhmu kurus, makanlah!”
            Aku tak butuh lagi makan minum. Senja begitu cepat mengejar detak jantungku. Aku harus lebih cepat menabung. Nanti, tak ada lagi yang bisa menghina kemiskinanku. Ya, tak ada lagi yang menghalangi hari pernikahan kami.
            Aku tebangi bambu di tebing-tebing. Aku seret pulang. Aku buat sebanyak-banyaknya dan kugantung sampai penuh hingga ke langit-langit rumah. Lihatlah, kini hampir semua bagian rumah digantungi celengan bambu.
            Amak yang renta terpana.
“Apa yang kau lakukan Imai? Lihatlah, rumah kita hampir penuh dengan celengan bambumu! Juallah ke pasar agar menjadi uang.”
            Huh, tak ada yang paham maksudku. Aku sendiri yang akan mengisi semuanya sampai melimpah. Tapi dengan apa?
            Aha… di sela-sela rumpun bambu aku temukan harta karun. Ya, tumpukan uang-uang kertas yang sangat dicari mamak-mamak mata duitan. Aku melonjak-lonjak girang dan menghambur-hamburkannya ke udara. Sungguh sore yang menakjubkan! Senangnya hatiku mandi dengan siraman uang sebanyak ini.
Wah, benar-benar banyak, berserakan di sela rimbunan bambu. Belum pernah kulihat uang begini melimpah. Aku bungkus hati-hati dengan kain sarung dan memikulnya kala senja sudah remang-remang. Jangan sampai ketahuan orang lain.
            “Apa yang kau lakukan! Mengapa kau simpan daun-daun kering itu di celengan bambu.”
            Nah, tertipu. Ha…ha…ha….. mereka mau saja dibodohi mata sendiri. Sampai-sampai mengira uang indah ini sebagai daun kering. Akh…mereka memang bodoh. Aku tak perlu lagi ke sawah, tak usah mendengan omelan Mak Juha tiap kali tumbukan Baguak miliknya tidak bagus. Aku akan segera kaya dan punya suami.
            Ya Tuhan, aku tak sempat lagi mandi. Nanti saja basegeh[20] kalau akan menikah.  Dengan siapa ya? Akh… Ramang, ya Ramang! Dia akan datang kembali untukku. Tentu saja.
***
“Dia harus dipasung!”
            “Jangan… “ seorang perempuan renta bersimpuh. Ia terisak-isak.
            “Kamu lihat sendiri ulahnya, tiap hari menebangi bambu-bambu milik orang kampung. Dia mengumpulkan daun-daun kering dan membuat celengan bambu begini banyak.”
            “Ayo…seret dia!”
            “Kenapa kau sekejam itu Udin. Dia masih kemenakanmu!” jerit Amak menggigil.
            “Puhh… perempuan gila karena tak laku. Puhh… tak sudi aku punya kemenakan seperti dia.”
            “Lihat kepala istriku! Baru kemarin dibacoknya saat mencuri bambu kami!” Boyong mengepalkan tangan ke udara.
            Haaaaaah… Aku tak sanggup mendengar suaru pilu Amak. Mereka pastilah iblis yang iri dengan tabunganku. Aku raih dua celengan bambu dan mulai memukuli. Ya, kepala orang-orang gila seperti mereka memang harus dipukuli supaya sadar.
Bak..buk…bak…bugh…
            Tapi… Mereka jahat. Aku gelap dan hitam.
            Kini aku terjerat di sarang laba-laba raksasa.. Tubuhku teramat letih, semua tulang belulang merintih nyeri. Mereka jahat padaku dan merantai kedua kakiku di kayu. Amak seringkali datang menyuapi. Aku menolaknya. Aku tak sempat karena sibuk. Ya, betapa sibuknya aku bicara pada bulan bila gelap telah menyelimuti hati. Berbicara sepuas-puasnya tentang sepotong mimpi yang tak terbingkai.
Ramang…oh Ramang.
Berbilang purnama telah berganti. Aku selalu menyanyikan mimpi indah tentang Ramang. Bulan, bintang dan semua penduduk langit menikmati alunan terindah dari lagu piluku.
Akhirnya, ia datang bersama kepakan sayap malaikat. Ramang mengelus-elus rambutku dan aku kembali bernyanyi dalam nada-nada air mata.
            “Tidaakkkkk…..!” Aku mencengkram lehernya kuat-kuat. Ia tak boleh lepas dari sisiku. Aku tak mau kehilangannya.
            “Lepaskan…lepaskan… kumohon…. Akhhh..” Ramang meratap-ratap.
            Tidak kau cintaku dan aku adalah cintamu. Perpisahan adalah keharaman dalam cinta. Tangan Imai menjadi besi mencengkram dan tak bisa dilepaskan.
            Akhhhh….. akhh… akh…. kami sama-sama menggelepar dalam tarian luka!
***




[1] Incim: (kakak) panggilan hormat pada wanita yang lebih tua.
[2] Tabek: kolam ikan yang bisa juga dipakai mandi atau mencuci.
[3] Basiang: membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di antara padi.
[4] Amak: ibu
[5] Manokok: menumbuk
[6] Baguak: Melinjo
[7] Angku: ulama/ustadz
[8] Sambalado: sambal cabe yang pedas dan lezat dicampur bawang, garam, terasi dan tomat.  
[9] Salapiak sakatiduran: tidur ditikar yang sama, maksudnya sahabat dekat.
[10] Tasirobok; bertemu mendadak
[11] Tasirok: berdesir hebat
[12] Suntiang: mahkota keemasan yang dipakai pengantin perempuan
[13] Mamak: paman dari pihak ibu. Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakannya. Begitu aturan dalam adat Minangkabau yang menganut matrilinial.
[14]Salah satu daerah di Minangkabau mengenal tradisi “uang jemputan” dalam pernikahan, dimana pihak keluarga perempuan menyerahkan sejumlah uang atau barang berharga semisal motor atau mobil pada keluarga laki-laki. Makin tinggi status sosial dan kondisi finansial calon pengantin pria, maka makin besar pula nilai uang jemputan yang mesti diserahkan. Tradisi uang hilang ini dikenal juga dengan istilah kasarnya ‘membeli laki-laki’. Belakangan, tradisi ini mulai ditinggalkan terutama oleh kalangan moderat karena memberatkan pihak keluarga perempuan.
[15] Jolong gadang: anak gadis yang sedang tumbuh dewasa.
[16] Abak: ayah
[17] Maota: ngobrol tak tentu arah
[18] Bapetai-petai; panjang lebar
[19] Baralek Gadang: kenduri atau pesta nikah besar-besaran
[20] Basegeh: bersolek

Tidak ada komentar:

Posting Komentar